VISAO MISAO OBJECTIVO HAKSESUK BOLA FH KKN HOME FH LPV ARTIGOS FH MUZIKA LIA MENON FH RESPONDE

20110208

Melodi Laut Timor (Bilakah Nyanyian Sunyi Itu Berdendang Kembali)

Oleh: P. Gregor Neonbasu SVD, PhD )*

Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Prop NTT Direktur Puslit Manse Nsae

Hari-hari ini Nusa Tenggara Timur disulap menjadi gegap gempita pada tirai berbagai media: cetak dan elektronik. Sejarah NTT mencatat suatu waktu khas dan amat istimewa, di mana orang nomor satu negeri ini bersama beberapa sesepuh kabinet datang dan tinggal di persada NTT selama 4 hari 3 malam, suatu tenggang waktu yang luar biasa.

Berbagai seruan terujar dari hati yang tulus nan ikhlas. Tidak tertinggal berkumandang sebuah nyanyian sunyi di lautan dalam, bersebelahan dengan Teluk Pukuafu yang pernah memakan korban beberapa waktu yang lalu. Nyanyian sunyi di laut Timor terlantun lagi ketika Petisi Laut Timor berdendang di sela-sela ombak, seakan melodinya indah di daun telinga para pendengar.

Petisi dan Suara Hati

Penulis menghadiri rapat para petisi tersebut (6/2) di Hotel Sasando yang ditulis harian ini (7/2). Ketika itu mengemuka dua opsi sebagai aksi dan sikap untuk menyongsong kedatangan orang nomor satu ke NTT. Dua opsi itu antara lain (1) membuat demonstrasi besar-besaran dan (2) melalui petisi.

Elemen masyarakat yang hadir diarahkan penulis untuk memilih opsi yang bermartabat dan tidak mencoreng nama harum NTT sesuai harapan banyak orang dalam rangka mengapresiasi kunjungan Bapak Preseden bersama 15 menteri, sejumlah duta besar dan undangan terhormat.

Isi petisi tersebut sangat menggugah yakni mengenai Pencemaran Laut Timor, yang tidak saja dirilis sebagai bencana kemanusiaan, melainkan sebuah petaka yang sedang menjemput masa depan kawasan yang sedang berpesta ria ini (Timex 7/2: 1.7). Setahun silam berbagai media, dan teristimewa harian ini telah banyak bersuara menyampaikan kajian ilmiah dengan menyampaikan data-data kualifide mengenai bencana kemanusiaan dan petaka kawasan yang bakal terbit di ufuk kehidupan manusia NTT.

Dalam rana mencipta paradigma kehidupan ekologi yang bersih, bencana dan petaka yang diakibatkan Pencemaran Laut Timor memang tidak main-main. Tumpahan minyak disertai zat timah hitam bercampur bubuk kimia dispersant jenis Conexit 9500 itu merupakan zat sangat beracun yang telah dilarang penggunaannya di berbagai Negara Eropa dan Amerika Serikat.

Yang lucu, upaya untuk menangkal pencemaran Laut Timor (yang dilakukan pihak Australia) justru ditempuh jalan itu. Kemudian sangat lucu lagi, yang langsung berinbas pada mala petaka kemanusiaan, hal itu tidak digubris dengan lebih sungguh-sungguh, semisal kajian dan penelitian lapangan yang valid.

Tragedi Alaska di tahun 1989, ketika terjadi tumpahan minyak yang sama, dalam skala tidak sebesar yang terjadi di Laut Timor, justru menunjukkan bahwa hingga kini – sudah ditangani selama 20an tahun – namun akibat-akibat yang menimpa masyarakat sekitar itu masih dalam agenda pemerintah setempat (USA) untuk proses penyelesaian yang diperkirakan 40 tahun baru selesai.

Karena itu petisi yang telah dilakukan (Timex 7/2) sangat manusiawi, di mana elemen-elemen masyarakat yang hadir meminta perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah (dalam hal ini Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur) untuk mengapresiasi bunyi nyanyian sunyi mereka, yakni akan terbit bencana dan petaka yang lebih parah.

Nyanyian Sunyi dan Kesulitan Besar

Pencemaran Laut Timor sungguh menunjuk sebuah bencana kemanusiaan, walau hingga kini seakan kita dilanda sebuah gempa raksasa, yakni hanya karena beda pendapat serta variasi pendekatan dan loby; namun substansinya tetap bergerak pada poros kehidupan masyarakat di kawasan Laut Timor: Indonesia (Timor, Rote, Semau, Sabu, Alor), Timor Leste dan Australia Utara (Darwin).

Akar persoalan sebetulnya berada di aras politik, yakni sebuah kelalaian politik, yang langsung berbias pada kepentingan nilai-nilai manusia, di mana hak, kepentingan dan lingkungan alam menjadi obyek penderitaan dari percaturan silat kata yang perlu direfleksi ulang. Secara makro, Tim Nasional telah mengalami kekalahan telak, ketika klaim untuk mendapat ganti rugi Rp 23 triliun ditolak Perusahaan Thailand di Australia. Alasannya sederhana saja, tidak ada bukti-bukti valid dari pihak Timnas, walau sebetulnya yang paling mendasar adalah loby politik kita yang out of date dan tak mencukupi.

Hemat saya, perlu ada sebuah kajian yang lengkap untuk menempatkan persoalan Laut Timor itu sebagai sebuah nyanyian sunyi dari Masyarakat NTT, yang seharusnya disuarakan oleh para wakil Rakyat dan bahkan pemerintahn daerah NTT sendiri. Dalam benak, mestinya refleksi ulang mengenai paradigma dan nuansa politik itu harus menempatkan masyarakat di daerah sekitar Laut Timor sebagai SUBYEK yang perlu memberi masukan dan input yang benar-benar realistis mengenai posisi kritis Laut Timor dan kondisi semrawut yang tengah berkecamuk di dasar Laut Timor.

Semua faham bahwa Laut Timor memang sangat kaya, dan bertepatan dengan propinsi kepulauan yang dicanangkan Bapak Gubernur NTT saat ini, hal itu sungguh memberi harapan bagi masa depan NTT. Namun Masyarakat NTT tidak boleh tinggal diam dan menganggap sepele Pencemaran Laut Timor yang kini diam-diam menyusun strategi untuk memuntahkan lahar dan lava malapetaka, jika berbagai seruan sekitar pencemaran Laut Timor gagal digubris dan tidak diapresiasi.

Yang pantas diperhatikan dengan sungguh-sungguh adalah ekologi dasar laut yang sudah diracuni Conexit 9500, yang ternyata mengacau-balaukan paradigma kehidupan plankton, yang pada gilirannya merusak harmonisasi dasar laut, yang ternyata berakibat buruk bagi terpeliharanya ekosistem dan ekologi kehidupan umat manusia di sekitar Laut Timor.

Teluk Mexico dan Laut Timor

Ketika terjadi pencemaran laut di kawasan Teluk Mexico (Exxon Valdez Oil Spill) pada April 2010, maka serta merta Presiden Obama menginstruksikan agar British Petroleum – yang sedang beroperasi di kawasan tersebut – segera berhenti, lantas diikuti dengan berbagai penelitian dan tindakan pengamanan agar tidak berbias bagi kehidupan masyarakat di kawasan itu.

Mestinya yang terjadi di Laut Timor ketika terjadi tumpahan minyak pada Agustus 2009, harus seperti itu. Penderitaan Masyarakat ke depan perlu dideteksi oleh karena tumpahan minyak di Laut Timor terhitung sangat dasyat, karena melebihi tumpahan minyak Alaska 1989 dan tragedy Mexico 2010. Lagi, bahaya ekologis yang berdampak sangat luas adalah digunakannya Conexit 9500, yang beracun.

Para petisi meminta perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk sesegera mungkin membuat penelitian dengan melibatkan berbagai pihak: antara lain dalam dan luar negeri untuk mendalami model dan jenis malapetaka kemanusiaan yang sedang antri menimpa Masyarakat NTT dan Australia Utara.

Sudah semenjak 500-an tahun tempat-tempat di sekitar Laut Timor telah dijadikan sebagai lokasi untuk mengusahakan segala sesuatu yang baik berkenaan dengan perbaikan kualitas kehidupan manusia local. Bukti sejarah dari tuturan tradisi lisan, yang diwariskan dari generasi ke generasi telah bersaksi tentang Masyarakat Rote-Sabu, yang telah lama menjadikan kawasan Laut Timor sebagai lumbung padi dan jagung dalam upaya memantapkan kehidupan masyarakat sepanjang hari hidup mereka.

Memang, bukan merupakan satu rahasia lagi bahwa pulau kecil di kawasan Laut Timor pada awalnya milik Indonesia, NAMUN sama sekali tidak dijaga sehingga suatu waktu memudahkan Australia mengirimkan marinir untuk menduduki kawasan tersebut (kata mantan Presiden Abdurahman Wahid dalam buku Skandal Laut Timor (2008: xiii). Ini satu kesalahan fatal yang perlu diluruskan dengan bukti-bukti dari penelitian yang cermat, teliti dan mendalam di masa mendatang.

Seterusnya, Indonesia yang mestinya memiliki bukti cukup untuk menuntut Australia, namun toh diam membisu. Lalu, lebih parah Indonesia justeru cenderung menyetujui sikap Australia yang mengklaim kawasan tersebut sebagai miliknya. Peluang emas bagi Indonesia sekitar era 1970-an dibiarkan saja, dan sikap Indonesia yang terlampau kompromistis dengan pihak Australia, kini memuntahkan lava persoalan seiring dengan pencemaran laut Timor.

Kemana Kita Berlangkah?

Akar persoalan harus terus dicari, dipelajari dan digali. Beberapa antara lain: pertama, Pertemuan PM Australai Gough Whitlam (dari Partai Buruh) dengan Presiden Soeharto di Wonosobo (Jawa Tengah) 6 September 1974. Konspirasi politik tingkat para pemimpin bangsa ini hendaknya dianalisis dengan memperhatikan struktur kehidupan masyarakat ketika itu, dengan sasaran perjanjian dan serentak keputusan yang diambil saat itu.

Kedua, Perjanjian-perjanjian sebelumnya: yang sangat krusial menentukan batas-batas antara Indonesia dan Australia: 18 Mei 1971, 9 Oktober 1972, 12 Februari 1973, dan ditandatanganinya MOU 7 November 1974. Ini satu skenario menarik yang kemudian diulang tutur pada 21 Maret 1980 dstnya.

Ketiga, Perlu refleksi kritis mengenai wawasan kebangsaan dan kepentingan warga masyarakat sekitar Laut Timor sebagai pemilik alamiah dari kawasan tersebut. Di sini sangat dibutuhkan penelitian antropologis yang benar-benar berakar pada kekuatan, kepentingan dan kehidupan masyarakat setempat di daerah-daerah terpencil.

Keempat, Spekulasi politik demi dan atas nama politik itu sendiri hendaknya diarahkan untuk mengabdi harmonisasi dan nasib masyarakat kecil di kawasan Laut Timor. Strategi politik licik, yang harus diusahakan adalah menjalin dan membangun kerja sama yang saling menguntungkan antara (1) Indonesia (Nusa Tenggara Timur), Australia Utara dan Timor Leste dalam uapaya mengawal dan mengelola kekayaan Laut Timor.

)* timorexpress
Selasa, 08 FEB 2011

Sem comentários:

Enviar um comentário

Nota: só um membro deste blogue pode publicar um comentário.